Sabtu, 25 Juni 2011

Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiuun...

Telah berpulang, dosen kita, "ayah" kita...

Prof. Romli Kurdi

Mari kita doakan semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya,

dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan.

Aamiin...

Congratulations!

The new Finance Teaching Assistant 2011-2012

1. Dwi Ayuningtyas

2. Dhea Rakhmatika

3. Noviana

4. Rima Gayatri

5. Citra Amanda

Please, make us proud of you
:)

-FTA2010/2011-

Rabu, 22 Juni 2011

announcements


ANNOUNCEMENT
FTA is a team of teaching assistant who will work to assist the lecturers on two subjects, which are Advanced Managerial Finance (MKL) and Investment & Portfolio Management (MIP). To sustain and improve their team, FTA have considered to select new assistants. A month ago, FTA held selection process which is followed by nine applicants.
If you want to know who are the best applicants that suit our qualifications, find them by using simulation of optimal portfolio. Use the Single Index Model method to find the optimal portfolio of FTA. Here the data shown:
Risk free rate = 0.00183% per day

JKSE
DEAR
RNMR
DWTY
NVPS
TRPI
CTRA
DKAG
WLST
RMGY
Mean Return
0.0005882
0.003206274
0.001343
0.003198825
0.00172719
0.001509
0.004105734
0.00015265
0.00021767
0.001549
s2i
0.0003401
0.001243246
0.001217
0.004779395
0.00121512
0.001601
0.00627246
0.00057853
0.00166835
0.001079
ai

0.002976561
0.00054
0.002865478
0.00091275
0.000563
0.003921518
-0.00033513
-0.0007147
0.000755
bi

0.39052532
1.365114
0.566709229
1.38459587
1.607687
0.313178598
0.82925905
1.5850506
1.350482
s2ei

0.001191383
0.000584
0.004670182
0.00056319
0.000722
0.006239106
0.00034468
0.00081399
0.000459
sei

0.034516419
0.02416
0.068338728
0.02373161
0.026872
0.078988014
0.01856565
0.02853055
0.021423

For further information, the new FTA will be called by us as soon as possible.
CONGRATULATIONS!!
FINANCE TEACHING ASSISTANT 2011/2012
Welcome to the new journey!!
(CP: Mia 085624005674)                                                                                                               

#FTA 2010/2011#

Kamis, 02 Juni 2011

Emas: Investasi yang Menjanjikan (By: Noviana)

Ketidakrasionalan Investor di Tengah-tengah Himpitan GameTheory, dan Lahirnya “Dogma” Keuangan (By : Willy Stephen)

Selama satu dekade terakhir, investment behavior menjadi topik yang paling hangat dibicarakan kalangan akademisi dan praktisi keuangan dunia. Investment behavior pada dasarnya mencoba untuk mendeskripsikan bagaimana psikologis seorang investor dalam melakukan investasi dalam pasar keuangan.
Dalam dunia investasi khususnya investasi pada pasar modal, bahwa teori tentang perilaku investor menjadi sangat menarik, fenomena ini terjadi dalam dunia para investor, dimana banyak hal yang sulit untuk dijelaskan dan dibutikan kebenarannya namun terjadi dan terbukti kebenarannya. Pertentangan dua hal yang berbeda aliran pemahamnnya akhirnya memunculkan perdebatan yang hingga saat ini masih menjadi polemik di antara kalangan akademisi dan praktisi keuangan.
Metamarfosis informasi, kepercayaan menjadi “dogma” dalam dunia keuangan


Layaknya sebuah ajaran atas kepercayaan sebuah agama yang dogmatik, dalam dunia investasi (pasar keuangan) seolah - olah mengalami pembentukan dogma sendiri, yang merupakan emanasi dari sebuah kepercayaan yang kadang dinilai tidak rasional dan mengalami difusi oleh dunia praktisi dan akademisi keuangan karena munculnya eksistensi dari sebuah nilai meskipun sulit dibuktikan secara rasional. Atas dasar sebuah “dogma” yang diragukan kebenarannya, terjadi fragmentasi yang menghasilkan dikotomi para penganut (ekstrem kiri) dan penentang (ekstrem kanan) atas ajaran adanya eksistensi nilai yang dianut. Namun, dalam perkembangannya, banyak praktisi keuangan yang tidak menjadi seorang ekstremis kiri dan ekstremis kanan, tetapi menggabungkan kedua aliran yang berselisih yang disebut sebagai kaum mederat (oleh penulis).
Deskripsi atas dua aliran yang bertentangan satu sama lain ini adalah analis fundamental (ekstrem kanan) dan analis teknikal (ekstrem kiri) dalam pasar keuangan, dan tentunya kaum moderat yang menggabungkan dua teori analisa ini yaitu analisa fundamental dan analisa teknikal.
Lahinya Game Theory di Tengah-tengah Perkembangan Pasar Keuangan
Lantas pertanyaan berikutnya, bagaimana “dogma” keuangan ini dilahirkan? Sebuah teori yang mencoba membangun sebuah teori sistematik untuk perilaku rasional manusia dengan memusatkan pada permainan sebagai ajang tempat orang mempraktikan rasionalitas mereka, teori ini dikenal sebagai “The Theory of Games and Economic Beahviour” oleh Von Neumann dan Oskar Morgenstern tahun 1944. Teori ini menjadi dasar bahwa bagaimana cara penggambaran tingkat rasionalitas seseorang ketika berada pada dua pilihan dalam melakukan penggambilan keputusan.
Kembali lagi kepada dua disiplin ilmu yang berbeda alirannya dalam menggambil keputusan investasi, bahwa secara teori keuangan keduanya bertentangan satu sama lain. Mengacu pada teori “random walk” yang dikembangkan oleh Maurice Kendall pada tahun 1953, menyatakan bahwa pola harga saham tidak dapat dipredikisi (unpredictable) karena bergerak secara acak (random walk), dalam kenyataannya, dalam penggambilan keputusan investasi banyak dipengaruhi oleh psikologis pasar (animal spirit). Teori yang akhirnya membagi kedua aliran analis ini adalah munculnya teori Efficient Market Hyphotesis, bahwa harga saham bergerak secara acak dimana fluktuasi harga saham tergantung pada informasi baru (new information) yang akan diterima, tetapi informasi tersebut tidak diketahui kapan akan diterimanya sehingga inforamsi baru dan harga saham itu bersifat unpredictable. Informasi yang diterima baik berisfat baik atau buruk juga tidak diketahui. Teori ini membagi menjadi tiga tingkatan oleh Eugene Fama, yaitu The Weak efficient market Hyphotesis, The Semistrong Market Hyphotesis dan The StrongMarket Hyphotesis.
Teori ini menjadi dasar pemikiran bahwa harga saham dapat berubah baik karena adanya informasi baru yang rasional maupun tanpa informasi baru yang irasional, sehingga perubahan harga tersebut dianggap tidak rasional melainkan emosional, yang disebabkan oleh psikologis massa atau pun animal spirit. Perubahan harga yang disebabkan oleh psikologis ataupun emosional massa selalu mispriced dan akan terkoreksi pada masa berikutnya. Indikasi dari adanya psikologis pasar ini terjadi karena game theory yaitu adanya dilema tahanan
Teori Efficient Market Hyphotesis diterima secara baik oleh analis fundamental, namun ditolak oleh para analis teknikal bahwa hal ini konsisten dengan opini dari penolakan teori pasar efisien oleh Jensen (1978), Bernard dan Thomas (1989), Mendenhall (1991), Debont dan Thaler (1985). Dan pada dasarnya analis teknikal mempercayai bahwa data harga sebelumnya bisa digunakan untuk memprediksi harga di masa datang dan investor memiliki kemungkinan untuk mendapatkan hasil di atas keuntungan normal, Pring (2002). Analis teknikal menerapkan tiga prinsip dasar yaitu Market price discounts everything (pergerakan harga tidaklah mempertimbangkan variabel lain yang dapat mengakibatkan pergerakan harga ), Prices moves in trend (pergerakan harga akan selalu mengikuti tren harga) dan History repeats it self (pergerakan harga pasar terjadi berulang-ulang dan mengikuti pergerakan historisnya).
Sebagai seorang praktisi dan akademisi keuangan, secara pribadi saya mempercayai bahwa random Walk Theory adalah benar adanya, dan prediksi atas harga saham hanyalah sesuatu yang tidak masuk (irrational). Ada beberapa argumentasi yang sebenarnya menjadi dasar sebagai praktisi maupun akademisi menolak dasar pemikiran dari para analis teknikal, yaitu:
1.      Harga saham dibentuk oleh pelaku pasar itu sendiri
Bahwa pergerakan harga saham tergantung pada besaran disparitas antara permintaan dan penawaran sebuah saham pada harga tertentu. Dalam hal ini pergerakan harga ditentukan psikologis investor dalam melakukan keputusan transaksi, asumsi ini membenarkan bahwa prediksi harga tidak bisa ditentukan, sebab tidak ada seorangpun yang mampu membaca psikologis pasar secara keseluruhan (bukan investor secara individual)
2.      Game Theory effect
Teori permainan menjadi dasar pemikiran bahwa pergerakan harga saham terbentuk karena adanya dilemma tahanan (prisoner dilemma) sebagai determinasi keputusan transaksi saham. Teori ini mencoba mendeskripsikan bahwa tingkat emosional lebih dominan daripada tingkat rasionalitas investor dalam menentukanl keputusan jual beli saham. Permasalahan yang dihadapi setiap investor adalah mempertimbangkan semua keputusan psikologis pasar meskipun pada dasarnya menyadari bahwa isu, indiakator teknikal tidaklah mencerminkan hal yang sebenarnya, namun ketika merencanakan sebuah keputusan jual beli saham, seorang investor mengalami dilemma tahanan dan tidak ingin melawan arus pasar jika tidak mau dikatakan sebagai “loser”, sehingga yang terjadi adalah jika semua menghadapi permasalahan yang sama, maka harga saham akan bergerak sesuai dengan persepsi yang dinyatakan oleh pasar meskipun tidak benar adanya.
3.      Dogma keuangan dan pembentukan investor tidak rasional
Perkembangan bahwa pembuktian suatu hal yang sulit dibuktikan secara akademis menjadi benar adanya karena efek dari teori permainan, dimana ketika menentukan keputusan jual beli saham semua investor mengalami dilemma tahanan maka isu, indikator teknikal, dan lainnya menjadi terbukti kebenarannya dan secara historis hal ini terjadi secara berulang – ulang, yang akhirnya historis membuktikan adanya keterkaitan yang begitu nyata antara sebuah hal yang sulit dibuktikan secara akademis. Perkemabangan dari kepercayaan bahwa teori ini pada akhirnya menjadi “dogma” keuangan bagi setiap investor, maka lahirlah investor dengan pemikiran yang tidak rasional meskipun kadang mereka menyadari hal tersebut.

CAPM vs TFM (By : Dhea Rakhmatika)

Orang akan mencari alat baru atau cara terbaik yang dapat menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat dan mudah. Penemuan alat baru atau cara terbaik akan digunakan di segala bidang termasuk bidang keuangan. Keinginan utama dari investor adalah meminimalkan resiko dan meningkatkan perolehan (minimize risk and maximize return). Asumsi umum bahwa investor individu yang rasional adalah seorang yang tidak menyukai risiko (risk aversive), sehingga investasi yang berisiko harus dapat menawarkan tingkat perolehan yang tinggi (higher rates of return), oleh karena itu investor sangat membutuhkan informasi mengenai risiko dan pengembalian yang diinginkan.


Ada beberapa resiko investasi yang dihadapi oleh investor, beberapa diantaranya adalah:
1. Market Risk (resiko pasar) sering disebut juga sebagai interest rate risk, nilai investasi akan menjadi turun ketika suku bunga meningkat mengakibatkan pemilik investasi mengalami capital loss.
2. Reinvestment risk, resiko yang disebabkan sebuah aset akan memiliki yield yang lebih sedikit pada beberapa waktu di masa yang akan datang.
3. Default risk yaitu resiko apabila penerbit aset gagal membayar bunga atau bahkan pokok aset.
4. Inflation risk yaitu resiko menurunnya nilai real aset karena adanya inflasi.
5. Currency risk yaitu resiko menurunya nilai aset karena penurunan nilai tukar mata uang yang dipakai oleh aset
6. Political risk yaitu resiko menurunnya nilai aset karena perubahan dalam peraturan atau hukum yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah.

Suku bunga bank sentral tentunya masih berpotensi memiliki semua resiko, akan tetapi diasumsikan negara tidak mungkin gagal membayar. Oleh karena itu, suku bunga bank sentral disebut juga risk free (rf).
Dari definisi resiko di atas, ada banyak teori yang membahas tentang menghitung resiko. Tetapi, yang terkenal di antaranya yaitu Capital Asset Pricing Model (CAPM) dan Fama and French Three Factor Model (TFM atau FF3F). Ada perdebatan antara teori CAPM dengan TFM mengenai perhitungan resiko terhadap return yang akan dibahas di bawah ini.

Capital Asset Princing Model (CAPM) yang dikembangkan oleh William Sharpe (1964), John Lintner (1965), and Black (1972) adalah model yang telah banyak digunakan oleh investor untuk menganalisis keuangan. CAPM dipergunakan untuk menentukan return suatu aset pada kondisi equilibrium. Model CAPM mengatakan bahwa return suatu asset hanya dipengaruhi oleh systematic risk (resiko pasar) karena diasumsikan unsystematic risk (resiko unik) dari suatu asset dapat dihilangkan dengan cara diversifikasi.
Sharpe dan Lintner yang mengembangkan teori CAPM ini berdasarkan mean variance dari portofolio yang telah dikembangkan oleh Markowitz (1959) dan Tobin (1958) dengan memberikan sejumlah asumsi yaitu: (i) investor membentuk portofolio sendiri berdasarkan expected return dan variance of return ; (ii) tidak ada biaya transaksi dan pajak; (iii) investor memiliki pendapat yang sama tentang estimasi expected return, volatilities, dan correlation dari investasi yang telah dipilih.

Rumus dari CAPM atau yang biasa disebut (Security Market Line) didefinisikan dengan persamaan:
E(Ri) = Rf + βi[E(Rm) – Rf],

dimana
E(Ri) = The expected return of stock i.
βi = COV (Ri, Rm)
VAR (Rm)
Rf = The risk free rate of return
E(Rm) = The expected return of the market

Dari persamaan CAPM diatas memnunjukkan bahwa expected return mempunyai hubungan dengan covariance asset dengan pasar atau yang disebut “systematic risk”. Misalnya, investor adalah risk averse , semakin tinggi resiko dari suatu saham (high beta) akan memberikan expected return yang tinggi pula dibandingkan dengan resiko yang rendah (low beta).

Validitas CAPM telah diuji secara empiris oleh Black, Jensen & Scholes (1972) dan Fama & MacBeth (1973) dan dari pengujian tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara beta portofolio (resiko sistematik) dengan return portofolio. Pengujian empiris ini mendorong peneliti lain untuk menguji CAPM dengan sampel yang berbeda-beda, tetapi dengan metodologi yang sama. Namun, Reinganum (1981), Tinic & West (1984) menemukan hubungan yang tidak signifikan antara resiko dan return. Untuk itu, perlu variabel lain untuk menemukan hubungan yang signifikan antara resiko dan return. Tetapi, Pettengill, Sundaram, dan Mathur (1995) berhasil menunjukkan ketidakkonsistenan pengujian beta terhadap return dikarenakan kegagalan dalam memisahkan kondisi market pada saat positif (up market) atau negatif (down market) atau yang dikenal sebagai conditional market.

Pengujian empiris dilakukan juga oleh Fama dan French (1992) untuk membuktikan pengaruh signifikan beta terhadap return. Tetapi, Fama dan French tidak menemukan hubungan yang signifikan antara beta dengan return. Oleh karena itu, Fama dan French menambahkan faktor lain yang tergambar di Security Market Line (SML) yaitu firm size (diukur dari nilai pasar equity-nya), ukuran dari suatu perusahaan diperhitungkan karena perusahaan yang lebih kecil akan memiliki resiko saham yang lebih tinggi daripada perusahaan yang lebih besar, maka dari itu, investor akan mengharapkan return yang lebih besar pada perusahaan yang lebih kecil. selain firm size, faktor lain yang mempengaruhi return adalah book to market ratio. Jika nilai pasarnya lebih tinggi daripada nilai bukunya maka investor akan optimis terhadap prospek masa depan saham tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika nilai pasarnya lebih rendah dari nilai bukunya maka investor akan menjadi pesimis terhadap prospek masa depan saham tersebut. Oleh karena itu, book to market ratio yang tinggi memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan book to market ratio yang rendah sehingga investor akan mengharapkan return yang sebanding pula.

Book to market ratio dan firm size merupakan variabel lain diluar CAPM, tahun 1996 Fama dan French memperkenalkan Three Model Factors (TFM atau FF3F) untuk menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap return. TFM terdiri dari beta, book to market ratio dan firm size. Pada tahun 2000 Fama, French, dan Davis melakukan pengujian kembali TFM dengan populasi di Saham Amerika Serikat selama 816 bulan (1926-1997) dengan hasil beta, book to market ratio dan firm size memiliki hubungan yang signifikan terhadap return.

TFM yang dikembangkan oleh Fama dan French (1996) menggunakan pendekatan multiple regresi dengan persamaan:
Rit – Rft = αit + βiM (RMt – Rft) + βisSMBt + βihHMLt +εit

dimana
Rit = Average monthly return of portfolio i
Rft = Risk free rate observed at the end of each month
βiM = COV (R , R)
VAR (R)
RMt = Expected Market Return
SMB = Small Minus Big (pendekatan untuk company Size)
HML = High Minus Low (pendekatan untuk BE/ME)
βis & βih = Factor loadings (selain market β). These loadings also represent the slope(s) in the time series regression.
αit & εit = These represent the intercept of the regression and the error term respectively.

Dari fenomena yang terjadi di atas, ada keraguan tentang CAPM untuk menganalisis hubungan resiko dengan return. CAPM conditional market mampu menunjukkan hubungan yang signifikan antara resiko dengan return, tetapi CAPM unconditional market terkadang tidak mampu menjelaskan hubungan yang signifikan antara resiko dengan return. Di lain pihak pengujian TFM berhasil menunjukkan hasil yang signifikan terhadap return. akan tetapi, pengujian teori CAPM dan TFM dilakukan diberbagai sampel dan portofolio yang berbeda.
Apapun hasilnya, baik teori CAPM dan TFM sudah mampu menunjukan adanya hubungan positif (searah) dan signifikan antara resiko terhadap return.

KENAIKAN HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA (By : Tiarni Putri)

Revolusi yang melanda Negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini telah memberikan guncangan pada pasar investasi global (23/02). Kondisi revolusi yang diiringi kekerasan dan korban jiwa ini bisa berdampak terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia.

Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan. Pasalnya akibat krisis politik di Mesir saja, harga minyak dunia, terutama yang diperdagangkan di bursa London naik dan sempat menjadi USS 100/ barel. Kenaikan harga minyak ini adalah konsekuensi logis dari krisis politik di Mesir mengingat negara ini menguasai terusan Suez, rute pelayaran kunci untuk minyak dan produk lain seperti gandum, minyak nabati, yang menghubungkan Laut Merah dan Mediterania. Setelah Libya diguncang krisis harga minyak mentah Brent naik mencapai USS 108/ barel.


Saat ini situasi di Mesir mulai terkendali setelah Hosni Mubarak bersedia menyerahkan jabatan sebagai presiden Mesir. Akan tetapi revolusi yang menular ke Libya di mana Muamar Khadaffi telah berkuasa selama 41 tahun justru lebih panas dibandingkan Mesir. Berbeda dengan Mubarak yang masih dapat mengendalikan diri dan berkata-kata diplomatis, Khadaffi mengandalkan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaannya.


Dalam hubungannya dengan instrument investasi global, kerusuhan di kawasan ini telah terbukti menjadi momok bagi pergerakan bursa saham. Bursa-bursa saham global rontok akibat makin tegangnya kondisi di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Saham Amerika Serikat merosot pada perdagangan Senin (7/3/2011) waktu setempat. Ini imbas sentimen Libya yang berbelok ke arah perang saudara dan kerusuhan terus mengacaukan beberapa negara Arab. Hal tersebut mendorong minyak mentah di atas 106 dollar AS per barrel di New York.
Indeks Dow Jones Industrial Average turun 79,85 poin (0,66 persen) menjadi berakhir pada 12.090,03. Indeks S & P 500 turun 11,02 poin (0,83 persen) menjadi 1.310,13, sementara indeks komposit teknologi Nasdaq merosot 39,04 poin (1,40 persen) pada 2.745,63.     

Dampak Krisis Timur Tengah dan Afrika Utara Terhadap Indonesia

Dalam konteks dampak terhadap Indonesia,  mungkin dalam jangka pendek gejolak politik di Timur Tengah dan Afrika Utara tidak akan berdampak secara langsung terhadap nilai perdagangan Indonesia. Akan tetapi gejolak di Timur Tengah dan Afrika Utara mampu mendorong harga komoditas di pasar global, terutama pangan dan energi. Artinya, krisis Timur Tengah dan Afrika Utara meningkatkan risiko dan premi risiko untuk lalu lintas perdagangan barang global, termasuk negara Indonesia. Tidak hanya itu, krisis politik di Timur Tengah dan Afrika Utara juga bisa menyebabkan meningkatnya biaya freight dan asuransi kapal. Kenyataan ini jelas mempengaruhi pasar keuangan dunia, termasuk di Asia, sehingga ketidakpastian pasar di negara-negara Asia termasuk Indonesia  naik.


Harga minyak dunia yang terus mengalami kenaikan ikut mengerek harga minyak Indonesia (ICP/Indonesia crude price) per 7 Maret 2011 menembus level US$ 113.75 per barel. Sementara rata-rata harga minyak Januari sampai Maret ini sudah US$ 104.72 per barel, itu naik 37% dari periode yang sama di 2010.

Untuk 12 bulan atau setahun terakhir, ICP rata-rata berada di level US$ 86.41 per barel. Ini berarti di atas asumsi perhitungan APBN 2011 yang besarannya US$ 80 per barel.

Keterkaitan langsung kenaikan harga minyak mentah adalah pembengkakan subsidi pada anggaran pemerintah (APBN). Seperti yang kita maklumi, hingga saat ini bahan bakar minyak jenis premium masih memperoleh subsidi dari pemerintah, sementara konsumsi premium ini sendiri menempati porsi terbesar dari konsumsi bahan bakar minyak jenis lain. 

Lonjakan harga Indonesia Crude Price (ICP) yang menembus US$ 100 per barel akan membuat penambahan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 sebesar 1.2%. Pembengkakan APBN 2011 dapat  mencapai Rp 76 triliun. Hitungan itu didasarkan atas asumsi ICP 100 dengan kurs rupiah 9.250 per dolar Amerika Serikat, dan volume produksi dalam negeri sebesar 40.5 juta kilo liter

Dengan mengandalkan minyak impor inilah, menjadi sebab ketergantungan kita yang berlebihan terhadap negara eksportir minyak. Dengan demikian, ketika terjadi sedikit saja gejolak politik dan sosial ekonomi di negara eksportir yang berpengaruh pada fluktuasi harga minyak dunia, maka hal tersebut secara ekstrem berimplikasi terhadap stabilitas ICP kita. Contoh kasus, destabilisasi politik seperti di Mesir, Libya dan negara Timur Tengah lain di awal Januari hingga saat ini, secara jelas membuat harga ICP kita ketar-ketir. Dan sudah pasti implikasinya merambat luas pada sektor-sektor strategis ekonomi lainya yang sulit di tepis.
Memang betul, bahwa harga BBM yang dipatok pemerintah dalam APBN 2011 berdasarkan asumsi makro adalah US$ 80 per barel. Namun jika dilihat dari data, baik pemerintah maupun media publik, lonjakan harga minyak dunia terhadap harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah pada tahap yang krusial. Pasalnya, saat ini, rata-rata harga minyak mentah Indonesia hingga bulan Maret telah mencapai US$ 100,4 per barel.
Hipotesa kita adalah, apabila fluktuasi harga ICP telah melampaui patokan APBN 2011 (US$ 80 per barel), maka harga minyak tersebut telah berpengaruh signifikan terhadap defisit APBN kita. Hal ini karena setiap kenaikan minyak US$ 1 per barel, akan menggerus subsidi sebesar 800 miliar. Dengan asumsi bahwa apabila kita kekurangan minyak sebesar 24 barel per hari, maka pemerintah harus menyuntik lagi anggaran sebesar 19,2 triliun untuk menutupi kekurangan BBM. Sementara kuota subsidi kita dalam bantalan APBN sebesar Rp.95,9 triliun. Dan apabila kuota subsidi ini terus terkuras, atau melampaui ekspektasi penghematan pemerintah, maka lagi-lagi APBN kita akan mengalami defisit. Karena pemerintah perlu menambal lubang defisit tersebut dengan menambah bantalan APBN. Dan hal ini secara serta-merta akan memicu gonjangan ekonomi turunan di berbagai sektor yang berhubungan dengan BBM. Menurut pemerintah (Menteri Keuangan), apabila harga minyak terus meningkat, maka defisit anggaran sampai akhir 2011 bisa bertambah 10 triliun hingga Rp 17 triliun. Dan apabila harga minyak dunia terus meningkat, maka defisit APBN kita bisa bertambah parah lagi.
Secara alamiah, fluktuasi harga minyak dunia itu akan berpengaruh secara global. Mau tidak mau, Indonesia pun akan merasakan implikasi dari fluktuasi harga minyak tersebut. Solusi realistis yang ada di hadapan pemerintah saat ini adalah, menaikan harga BBM jenis premium sebesar Rp 5000 per liter, dan akan terjadi penghematan APBN hingga sekitar Rp 15 triliun. Demikian juga mengalihkan ke pertamax dengan mematok harga Rp.8000 perliter serta kebijakan melakukan sisitem kendali terpusat.  Namun dari ketiga opsi yang disarankan untuk pemerintah, akan tetap memiliki dampak inflasi 0,3%-0,5% hingga maksimum 0,6%.
Kenaikan harga minyak dunia juga akan menimbulkan dampa inflasi pada sektor lain. Semisal, industri petrokimia yang menggunakan bahan baku minyak bumi dipastikan menaikkan harga produknya, seperti plastik dan sederet nilon untuk tekstil. Harga minyak dunia yang meningkat juga akan ikut mendorong harga sejumlah komoditas pangan dalam negeri.
Kondisi ini menjadi ancaman lain bagi banyak negara pengimpor pangan termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil publikasi organisasi pangan dunia FAO, lonjakan harga minyak dunia berpengaruh terhadap indeks harga pangan dunia sebesar 231 dan pada bulan februari mencapai 236 (Kompas, 10 Maret 2011).
Sebagai negara yang memiliki hubungan mata rantai dengan siklus ekonomi dunia, Indonesia akan secara langsung merasakan multi efek dari lonjakan harga minyak dunia. Harga pangan akan terdorong naik ketika harga minyak terus menanjak. Karena sejumlah komoditas pertanian digunakan untuk subsitusi bahan bakar minyak. Selain itu, kebutuhan petani akan minyak untuk mesin pertanian dan untuk kebutuhan pengapalan komoditas yang juga membutuhkan bahan bakar minyak dalam kapasitas besar. Goncangan harga pangan tersebut akan turut memompa lonjakan inflasi pada komoponen bahan pangan tertentu yang tingkat ketergantungannya terhadap BBM cukup tinggi.

Pemerintah Sikapi Kenaikan Harga Minyak, Siap-siap Hadapi Inflasi

Dalam menyikapi kenaikan harga minyak dan potensi kenaikan subsidi ini Tim Pengkaji Akademis dampak kebijakan pembatasan BBM subsidi Anggito Abimanyu memberikan tiga opsi ke pemerintah untuk mengurangi konsumsi BBM subsidi jenis premium.


  1. Kenaikan harga premium Rp 500 per liter, kemudian angkutan umum diberikan semacam cash back atau kembalian, sehingga tarifnya tidak naik. Itu berarti kendaraan bermotor maupun mobil pribadi harus membayar biaya tambahan termasuk kendaraan umum. Namun untuk angkutan umum ada cash back
  2. Harga pertamax dijaga di level tertentu. Berdasarkan survei atas kemampuan daya beli masyarakat, paling feasible Rp 8.000 per liter. Perpindahan kendaraan pribadi dari premium ke pertamax dilakukan supaya terjadi pengurangan konsumsi sekitar 3 juta KL pindah ke pertamax.
  3. Melakukan penjatahan konsumsi premium dengan sistem kendali. Itu berlaku tidak hanya kendaraan umum tapi juga kendaraan pribadi.

    Hingga saat ini karena harga jual BBM dalam negeri belum diputuskan untuk naik, tingkat inflasi di masyarakat masih cukup moderat. Seperti yang dilaporkan oleh BPS, pada bulan Februari lalu inflasi turun sekitar 0.13 %, jauh lebih rendah dari ekspektasi para analis 0.3-0.,5%. Inflasi Februari 2011 di level 0.13% dibandingkan Januari 0.89% (month on month).

    Namun demikian patut diingat bahwa angka inflasi tahunan Year on Year yang mencapai 6.84% masih tergolong tinggi. Pasalnya angka inflasi tahunan itu masih di atas target inflasi APBN 2011 yang hanya sebesar 5.%, 

    Dengan mempertimbangkan potensi ancaman inflasi tersebut pemerintah diharapkan akan menemukan formula kebijakan yang paling tepat terkait dengan harga minyak mentah, inflasi, dan defisit APBN.