Kamis, 02 Juni 2011

PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS (By : Dwi Ayuningtyas)

Perkembangan perekonomian di Indonesia sekarang menjadi lebih baik, terbukti dengan semakin menguatnya nilai rupiah yang sekarang ini mencapai angka Rp. 8780 yang mengalami penguatan sebesar 2,5%  dibanding periode sebelumnya (pada tahun 2010 kisaran Rp.9000/$-Rp.9200/$). Keadaan perekonomian ini membuat suasana investasi semakin semarak di Indonesia apalagi dengan semakin banyaknya perusahaan yang go-public di BEI (Bursa Efek Indonesia) yang pada akhir tahun 2010 berjumlah 413 perusahaan. Oleh karena itu banyak investor yang tertarik untuk melakukan investasi di perusahaan tersebut.
Namun sebagaimana sikap tiap investor dalam melakukan investasi mereka akan selalu mempertimbangkan 2 hal, yaitu pengembalian/hasil yang diharapkan dan resiko investasi yang harus diterima. Investor saat akan mengambil keputusan investasi selalu dihadapkan pada ketidakpastian. Inilah yang mendorong investor untuk selalu mempertimbangkan segala resiko yang mungkin mereka hadapi. Investor harus jeli dalam memilih perusahaan mana yang akan menerima modalnya untuk diinvestasikan. Banyak sekali faktor yang memengaruhi resiko investasi. Salah satu faktor yang paling berpengaruh adalah kondisi kesehatan keuangan perusahaan yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam mengolah aset dan mendapatkan laba.

Perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional bisnisnya pastilah bertujuan untuk mendapatkan laba dan mempertahankan eksistensinya di masa yang akan datang. Namun terdapat banyak ketidakpastian yang akan dialami oleh perusahaan Indonesia di masa yang akan datang. Oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk mengatasi ketidakpastian tersebut dan memprediksi kinerja keuangan perusahaan.
Investor sebagai pihak yang menanamkan modalnya (eksternal) merupakan salah satu pihak yang memprediksi kekuatan keuangan perusahaan. Mereka biasanya bereaksi terhadap sinyal distress seperti: masalah kualitas produk, tagihan dari bank atau kreditur, laporan laba rugi yang negatif, dan lain sebagainya yang merupakan ciri-ciri financial distress (kesulitan keuangan).
Menurut Ross dan Westerfield (1996 : 808) financial distress adalah suatu dimana cash flow operasi perusahaan tidak mampu menutupi atau mencukupi kewajiban saat ini, financial distress dapat membawa suatu perusahaan mengalami kegagalan (corporate failure) pada kontraknya yang akhirnya dapat dilakukan restrukturisasi financial antara perusahaan,


kreditor dan investor. Pengertian kebangkrutan dapat disimpulkan sebagai suatu keadaan perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajiban kepada debitur karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya sehingga tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh perusahaan tidak dapat dicapai dengan profit sebab dengan laba yang diperoleh perusahaan bisa digunakan untuk mengembalikan pinjaman, bisa membiayai operasi perusahaan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bisa ditutup dengan laba atau aktiva yang dimiliki (Adnan dan Kurniasih (2000) dalam Sayekti Indah (2005)).
Bagi investor yang melakukan investasi dengan pendekatan aktif, dapat mengembangkan suatu strategi yang didasarkan pada asumsi bahwa model prediksi kesulitan keuangan dapat menjadi peringatan awal adanya kesulitan keuangan dibandingkan dengan suatu yang tersembunyi pada harga surat berharga yang berlaku (Foster G.1986). Menurut Foster (1986) terdapat beberapa indikator atau sumber informasi mengenai kemungkinan dari kesulitan keuangan:
1.      Analisis arus kas untuk periode sekarang dan yang akan datang.
2.      Analisis strategi perusahaan yang mempertimbangkan pesaing potensial, struktur biaya relatif, perluasan rencana dalam industri, kemampuan perusahaan untuk meneruskan kenaikan biaya, kualitas manajemen dan lain sebagainya.
3.      Analisis laporan keuangan dari perusahaan serta perbandingannya dengan perusahaan lain. Analisis ini dapat berfokus pada suatu variabel keuangan tunggal atau suatu kombinasi dari variabel keuangan.
4.      Variabel eksternal seperti return sekuritas dan penilaian obligasi.

 Kegunaan informasi jika suatu perusahaan mengalami financial distress (Platt dan Platt.2002) adalah:
1.      Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah sebelum terjadinya kebangkrutan,
2.      Pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau takeover agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola perusahaan dengan lebih baik,
3.      Memberikan tanda peringatan dini adanya kebangkrutan di masa yang akan datang.

Berbagai penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui bagaimana cara memprediksi kebangkrutan perusahaan. Penelitian terdahulu mengemukakan salah satu cara untuk memprediksi kebangkrutan adalah dengan memanfaatkan analisis rasio keuangan. Penelitian awal yang dilakukan Beaver (1966) dengan pendekatan pemodelan secara univariate menghasilkan 5 rasio khusus yang signifikan dari 30 initial finantial ratio yang mampu membedakan perusahaan yang sehat dan gagal sebelum financial distress. Kelima rasio tersebut adalah cash flow/total debt, net income/total assest, total debt/total assets, working capital/total assets, dan current ratio. Namun terdapat kelemahan dimana penetapan satu variabel tidak menjamin akan menghasilkan hasil klasifikasi yang sama, apabila diterapkan atas variabel lainnya.
Memperhatikan kelemahan-kelemahan dalam model univariate Altman (1968) dalam studinya mengenalkan pendekatan analisis rasio tradisional untuk memprediksi kebangkrutan dengan menggunakan teknik analisis diskriminan berganda. Altman berhasil mengidentifikasikan lima rasio yang merupakan prediktor terbaik kebangkrutan. Ohlson (1980) menggunakan sembilan financial ratios untuk memprediksi probabilitas kebangkrutan perusahaan, namun Ohlson menggunakan Logit Model dalam analisisnya. Zopounidis (1999), dalam studinya menggunakan delapan financial ratios yang ditentukan berdasarkan ketersediaan data keuangan dan relevan untuk memprediksi financial distress. Dalam studi yang dilakukan Shirata (1998) menyimpulkan bahwa bahwa financial ratios dapat digunakan sebagai prediktor kegagalan perusahaan di Jepang. Selanjutnya LinLin dan Piesse (1995), dalam studinya memasukkan lima financial ratios berdasarkan pertimbangan teoritis yang diperkirakan dapat menjelaskan kegagalan perusahaan di UK.
Dalam studi yang dilakukan Gamesalingam dan Kumar (2001) diperoleh hasil bahwa financial ratios dapat digunakan sebagai prediktor dalam mengklasifikasi successful companies (non-distressed) dan failed companies (distressed). Penelitian yang dilakukan Hadad, dkk (2003) mendapatkan bukti empiris bahwa financial ratios perusahaan mampu membedakan perilaku perusahaan di Indonesia yang masuk dalam kelompok pailit dan tidak pailit. Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Zmijewski (1983) dalam Foster (1986), Lau (1987), Poston et al. (1994), serta Platt dan Platt (2002). Pengembangan penelitian financial distress di Indonesia dilakukan oleh Aryanti dan Manao (2000), Wilopo (2001), Swandari (2002), Haryati (2002), serta Almilia (2003).
Dalam penelitian terdahulu, untuk melakukan pengujian apakah suatu perusahaan mengalami financial distress dapat ditentukan dengan berbagai cara, seperti:
·         Lau (1987) dan Hill et al. (1996) menggunakan adanya pemberhentian tenaga kerja atau menghilangkan pembayaran deviden.
·         Asquith, Gertner dan Scharfstein (1994) menggunakan interest coverage ratio untuk mendefinisikan financial distress.
·         Whitaker (1999) mengukur financial distress dengan cara adanya arus kas yang lebih kecil dari utang jangka panjang saat ini.
·         John, Lang dan Netter (1992) mendefinisikan financial distress sebagai perubahan harga ekuitas.
Walaupun demikian model prediksi financial distress yang paling sering digunakan dan dikatakan akurat adalah model prediksi yang dikembangkan oleh Altman (1968), yaitu model Z-Score. Z-Score terdiri dari 5 independen variabel, yakni working capital/total assets, retained earning/total assets, earning before interest and taxes/total assets, market value of preferred and common equity/book value of total liabilities, dan sales/total assets. Model ini mempunyai kemampuan prediksi yang kuat untuk 1-2 tahun dan banyak dijadikan dasar untuk pengambangan model dengan metode Multivariate Discriminant Analysis (MDA) selanjutnya dimana dirumuskan dalam formula berikut:

Z = 1.2X1 + 1.4X2 + 3.3X3 + 0.6X4 + 0.999X5
X1 = Working Capital / Total Assets
X2 = Retained Earnings / Total Assets
X3 = Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets
X4 = Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities
X5 = Sales/ Total Assets
Namun terdapat keterbatasan dalam MDA termasuk dalam penelitian Altman. Lalu pada tahun 1977 Altman, haldeman, Narayanan mencoba mengembangkan 7 rasio keuangan dan memperbaiki Model Z-Score (1968) menjadi Zeta Model. Dalam Zeta Model 7 independen variabel, yaitu earning before interest and taxes/total assets, normalized measure of the standard error of estimate around a five to ten-year trend in X1, eraning before interest and taxss/total interest payment, retained earnings/total assets,current asset/current liabilities, common equity/total capital, size (firm total assets) yang dirumuskan dalam formula berikut:

ZETA® = a1X1+a2X2+a3X3+ a4X4+a5X5+a6X6+a7X7

 Zeta model ini sangat luas diterapkan secara komersial karena tingkat keakuratannya selama 5 tahun masih tinggi. Dikatakan komersial karena penurunan nilai dari variable a disesuaikan dengan kondisi perusahaan yang akana diprediksi jadi ada perhitungan tersendiri yang oleh Altman tidak dicantumkan dalam jurnal yang ditulisnya.
            Model yang dikembangkan oleh Altman memang akurat namun masih tidak menutup kemungkinan adanya kelemahan. Pemakaian model ini di Indonesia dikatakan kurang tepat karena kondisi sampel yang digunakan oleh Altman adalah perusahaan Amerika yang memang berbeda kondisi keuangannya. Selain itu model Altman juga dikembangkan (terfokus) pada perusahaan manufaktur yang sudah go public kurang cocok untuk perusahaan non manufaktur (co. Jasa, perbankan, properti, tambang, dll) dan perusahaan yang tidak go public.
            Oleh karena itu sebaiknya untuk memprediksi financial distress di Indonesia tidak menggunakan model Z-score tapi mengembangkan melalui pemanfaatan analisis rasio keungan dengan mempertimbangkan variabel makro (tingkat suku bungan dan inflasi) agar lebih akurat. Untuk pengujian ciri-ciri perusahaan yang mengalami financial distress dapat menggunkan interest coverage ratio yang memang penggunaannya paling umum dan universal sesuai dengan gitman dan penelitian yang dilakukan oleh salah satu anggota World Bank pada 1000 perusahaan di Asia Timur.

5 komentar:

  1. hallo mbak sy tertarik dengan isu menambahkan variabel makro inflasi dan tingkat suku bunga. sekarang sy sdg menyusun skripsi tentang financial distress. Jika ingin bertanya lebih dalam bisa menghubungi kemana? ini email saya hardiantymunawir@gmail.com

    BalasHapus
  2. Kak mau tanya dong rumus financial distress itu apa ya? Terimakasih

    BalasHapus
  3. halo kk saya sekarang sedang menyusun skripsi tentang pengaruh profit dan cash flow dalam memprediksi financial distress perusahaan klo mau tau lebih dalam bisa hub kemana ya ? ini email saya kellynvita@gmail.com

    BalasHapus
  4. Ka saya mau bertanya dong itu angka yang 1,2 itu dapatnya dari mana ya? Apa itu cuman buat perbandingan atau gimana ya ka kalau untuk melakukan uji di olah data?

    BalasHapus
  5. Ka saya mau bertanya dong itu angka yang 1,2 itu dapatnya dari mana ya? Apa itu cuman buat perbandingan atau gimana ya ka kalau untuk melakukan uji di olah data?

    BalasHapus