Kamis, 02 Juni 2011

CAPM vs TFM (By : Dhea Rakhmatika)

Orang akan mencari alat baru atau cara terbaik yang dapat menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat dan mudah. Penemuan alat baru atau cara terbaik akan digunakan di segala bidang termasuk bidang keuangan. Keinginan utama dari investor adalah meminimalkan resiko dan meningkatkan perolehan (minimize risk and maximize return). Asumsi umum bahwa investor individu yang rasional adalah seorang yang tidak menyukai risiko (risk aversive), sehingga investasi yang berisiko harus dapat menawarkan tingkat perolehan yang tinggi (higher rates of return), oleh karena itu investor sangat membutuhkan informasi mengenai risiko dan pengembalian yang diinginkan.


Ada beberapa resiko investasi yang dihadapi oleh investor, beberapa diantaranya adalah:
1. Market Risk (resiko pasar) sering disebut juga sebagai interest rate risk, nilai investasi akan menjadi turun ketika suku bunga meningkat mengakibatkan pemilik investasi mengalami capital loss.
2. Reinvestment risk, resiko yang disebabkan sebuah aset akan memiliki yield yang lebih sedikit pada beberapa waktu di masa yang akan datang.
3. Default risk yaitu resiko apabila penerbit aset gagal membayar bunga atau bahkan pokok aset.
4. Inflation risk yaitu resiko menurunnya nilai real aset karena adanya inflasi.
5. Currency risk yaitu resiko menurunya nilai aset karena penurunan nilai tukar mata uang yang dipakai oleh aset
6. Political risk yaitu resiko menurunnya nilai aset karena perubahan dalam peraturan atau hukum yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah.

Suku bunga bank sentral tentunya masih berpotensi memiliki semua resiko, akan tetapi diasumsikan negara tidak mungkin gagal membayar. Oleh karena itu, suku bunga bank sentral disebut juga risk free (rf).
Dari definisi resiko di atas, ada banyak teori yang membahas tentang menghitung resiko. Tetapi, yang terkenal di antaranya yaitu Capital Asset Pricing Model (CAPM) dan Fama and French Three Factor Model (TFM atau FF3F). Ada perdebatan antara teori CAPM dengan TFM mengenai perhitungan resiko terhadap return yang akan dibahas di bawah ini.

Capital Asset Princing Model (CAPM) yang dikembangkan oleh William Sharpe (1964), John Lintner (1965), and Black (1972) adalah model yang telah banyak digunakan oleh investor untuk menganalisis keuangan. CAPM dipergunakan untuk menentukan return suatu aset pada kondisi equilibrium. Model CAPM mengatakan bahwa return suatu asset hanya dipengaruhi oleh systematic risk (resiko pasar) karena diasumsikan unsystematic risk (resiko unik) dari suatu asset dapat dihilangkan dengan cara diversifikasi.
Sharpe dan Lintner yang mengembangkan teori CAPM ini berdasarkan mean variance dari portofolio yang telah dikembangkan oleh Markowitz (1959) dan Tobin (1958) dengan memberikan sejumlah asumsi yaitu: (i) investor membentuk portofolio sendiri berdasarkan expected return dan variance of return ; (ii) tidak ada biaya transaksi dan pajak; (iii) investor memiliki pendapat yang sama tentang estimasi expected return, volatilities, dan correlation dari investasi yang telah dipilih.

Rumus dari CAPM atau yang biasa disebut (Security Market Line) didefinisikan dengan persamaan:
E(Ri) = Rf + βi[E(Rm) – Rf],

dimana
E(Ri) = The expected return of stock i.
βi = COV (Ri, Rm)
VAR (Rm)
Rf = The risk free rate of return
E(Rm) = The expected return of the market

Dari persamaan CAPM diatas memnunjukkan bahwa expected return mempunyai hubungan dengan covariance asset dengan pasar atau yang disebut “systematic risk”. Misalnya, investor adalah risk averse , semakin tinggi resiko dari suatu saham (high beta) akan memberikan expected return yang tinggi pula dibandingkan dengan resiko yang rendah (low beta).

Validitas CAPM telah diuji secara empiris oleh Black, Jensen & Scholes (1972) dan Fama & MacBeth (1973) dan dari pengujian tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara beta portofolio (resiko sistematik) dengan return portofolio. Pengujian empiris ini mendorong peneliti lain untuk menguji CAPM dengan sampel yang berbeda-beda, tetapi dengan metodologi yang sama. Namun, Reinganum (1981), Tinic & West (1984) menemukan hubungan yang tidak signifikan antara resiko dan return. Untuk itu, perlu variabel lain untuk menemukan hubungan yang signifikan antara resiko dan return. Tetapi, Pettengill, Sundaram, dan Mathur (1995) berhasil menunjukkan ketidakkonsistenan pengujian beta terhadap return dikarenakan kegagalan dalam memisahkan kondisi market pada saat positif (up market) atau negatif (down market) atau yang dikenal sebagai conditional market.

Pengujian empiris dilakukan juga oleh Fama dan French (1992) untuk membuktikan pengaruh signifikan beta terhadap return. Tetapi, Fama dan French tidak menemukan hubungan yang signifikan antara beta dengan return. Oleh karena itu, Fama dan French menambahkan faktor lain yang tergambar di Security Market Line (SML) yaitu firm size (diukur dari nilai pasar equity-nya), ukuran dari suatu perusahaan diperhitungkan karena perusahaan yang lebih kecil akan memiliki resiko saham yang lebih tinggi daripada perusahaan yang lebih besar, maka dari itu, investor akan mengharapkan return yang lebih besar pada perusahaan yang lebih kecil. selain firm size, faktor lain yang mempengaruhi return adalah book to market ratio. Jika nilai pasarnya lebih tinggi daripada nilai bukunya maka investor akan optimis terhadap prospek masa depan saham tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika nilai pasarnya lebih rendah dari nilai bukunya maka investor akan menjadi pesimis terhadap prospek masa depan saham tersebut. Oleh karena itu, book to market ratio yang tinggi memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan book to market ratio yang rendah sehingga investor akan mengharapkan return yang sebanding pula.

Book to market ratio dan firm size merupakan variabel lain diluar CAPM, tahun 1996 Fama dan French memperkenalkan Three Model Factors (TFM atau FF3F) untuk menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap return. TFM terdiri dari beta, book to market ratio dan firm size. Pada tahun 2000 Fama, French, dan Davis melakukan pengujian kembali TFM dengan populasi di Saham Amerika Serikat selama 816 bulan (1926-1997) dengan hasil beta, book to market ratio dan firm size memiliki hubungan yang signifikan terhadap return.

TFM yang dikembangkan oleh Fama dan French (1996) menggunakan pendekatan multiple regresi dengan persamaan:
Rit – Rft = αit + βiM (RMt – Rft) + βisSMBt + βihHMLt +εit

dimana
Rit = Average monthly return of portfolio i
Rft = Risk free rate observed at the end of each month
βiM = COV (R , R)
VAR (R)
RMt = Expected Market Return
SMB = Small Minus Big (pendekatan untuk company Size)
HML = High Minus Low (pendekatan untuk BE/ME)
βis & βih = Factor loadings (selain market β). These loadings also represent the slope(s) in the time series regression.
αit & εit = These represent the intercept of the regression and the error term respectively.

Dari fenomena yang terjadi di atas, ada keraguan tentang CAPM untuk menganalisis hubungan resiko dengan return. CAPM conditional market mampu menunjukkan hubungan yang signifikan antara resiko dengan return, tetapi CAPM unconditional market terkadang tidak mampu menjelaskan hubungan yang signifikan antara resiko dengan return. Di lain pihak pengujian TFM berhasil menunjukkan hasil yang signifikan terhadap return. akan tetapi, pengujian teori CAPM dan TFM dilakukan diberbagai sampel dan portofolio yang berbeda.
Apapun hasilnya, baik teori CAPM dan TFM sudah mampu menunjukan adanya hubungan positif (searah) dan signifikan antara resiko terhadap return.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar