Kamis, 02 Juni 2011

KENAIKAN HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA (By : Tiarni Putri)

Revolusi yang melanda Negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini telah memberikan guncangan pada pasar investasi global (23/02). Kondisi revolusi yang diiringi kekerasan dan korban jiwa ini bisa berdampak terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia.

Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan. Pasalnya akibat krisis politik di Mesir saja, harga minyak dunia, terutama yang diperdagangkan di bursa London naik dan sempat menjadi USS 100/ barel. Kenaikan harga minyak ini adalah konsekuensi logis dari krisis politik di Mesir mengingat negara ini menguasai terusan Suez, rute pelayaran kunci untuk minyak dan produk lain seperti gandum, minyak nabati, yang menghubungkan Laut Merah dan Mediterania. Setelah Libya diguncang krisis harga minyak mentah Brent naik mencapai USS 108/ barel.


Saat ini situasi di Mesir mulai terkendali setelah Hosni Mubarak bersedia menyerahkan jabatan sebagai presiden Mesir. Akan tetapi revolusi yang menular ke Libya di mana Muamar Khadaffi telah berkuasa selama 41 tahun justru lebih panas dibandingkan Mesir. Berbeda dengan Mubarak yang masih dapat mengendalikan diri dan berkata-kata diplomatis, Khadaffi mengandalkan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaannya.


Dalam hubungannya dengan instrument investasi global, kerusuhan di kawasan ini telah terbukti menjadi momok bagi pergerakan bursa saham. Bursa-bursa saham global rontok akibat makin tegangnya kondisi di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Saham Amerika Serikat merosot pada perdagangan Senin (7/3/2011) waktu setempat. Ini imbas sentimen Libya yang berbelok ke arah perang saudara dan kerusuhan terus mengacaukan beberapa negara Arab. Hal tersebut mendorong minyak mentah di atas 106 dollar AS per barrel di New York.
Indeks Dow Jones Industrial Average turun 79,85 poin (0,66 persen) menjadi berakhir pada 12.090,03. Indeks S & P 500 turun 11,02 poin (0,83 persen) menjadi 1.310,13, sementara indeks komposit teknologi Nasdaq merosot 39,04 poin (1,40 persen) pada 2.745,63.     

Dampak Krisis Timur Tengah dan Afrika Utara Terhadap Indonesia

Dalam konteks dampak terhadap Indonesia,  mungkin dalam jangka pendek gejolak politik di Timur Tengah dan Afrika Utara tidak akan berdampak secara langsung terhadap nilai perdagangan Indonesia. Akan tetapi gejolak di Timur Tengah dan Afrika Utara mampu mendorong harga komoditas di pasar global, terutama pangan dan energi. Artinya, krisis Timur Tengah dan Afrika Utara meningkatkan risiko dan premi risiko untuk lalu lintas perdagangan barang global, termasuk negara Indonesia. Tidak hanya itu, krisis politik di Timur Tengah dan Afrika Utara juga bisa menyebabkan meningkatnya biaya freight dan asuransi kapal. Kenyataan ini jelas mempengaruhi pasar keuangan dunia, termasuk di Asia, sehingga ketidakpastian pasar di negara-negara Asia termasuk Indonesia  naik.


Harga minyak dunia yang terus mengalami kenaikan ikut mengerek harga minyak Indonesia (ICP/Indonesia crude price) per 7 Maret 2011 menembus level US$ 113.75 per barel. Sementara rata-rata harga minyak Januari sampai Maret ini sudah US$ 104.72 per barel, itu naik 37% dari periode yang sama di 2010.

Untuk 12 bulan atau setahun terakhir, ICP rata-rata berada di level US$ 86.41 per barel. Ini berarti di atas asumsi perhitungan APBN 2011 yang besarannya US$ 80 per barel.

Keterkaitan langsung kenaikan harga minyak mentah adalah pembengkakan subsidi pada anggaran pemerintah (APBN). Seperti yang kita maklumi, hingga saat ini bahan bakar minyak jenis premium masih memperoleh subsidi dari pemerintah, sementara konsumsi premium ini sendiri menempati porsi terbesar dari konsumsi bahan bakar minyak jenis lain. 

Lonjakan harga Indonesia Crude Price (ICP) yang menembus US$ 100 per barel akan membuat penambahan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 sebesar 1.2%. Pembengkakan APBN 2011 dapat  mencapai Rp 76 triliun. Hitungan itu didasarkan atas asumsi ICP 100 dengan kurs rupiah 9.250 per dolar Amerika Serikat, dan volume produksi dalam negeri sebesar 40.5 juta kilo liter

Dengan mengandalkan minyak impor inilah, menjadi sebab ketergantungan kita yang berlebihan terhadap negara eksportir minyak. Dengan demikian, ketika terjadi sedikit saja gejolak politik dan sosial ekonomi di negara eksportir yang berpengaruh pada fluktuasi harga minyak dunia, maka hal tersebut secara ekstrem berimplikasi terhadap stabilitas ICP kita. Contoh kasus, destabilisasi politik seperti di Mesir, Libya dan negara Timur Tengah lain di awal Januari hingga saat ini, secara jelas membuat harga ICP kita ketar-ketir. Dan sudah pasti implikasinya merambat luas pada sektor-sektor strategis ekonomi lainya yang sulit di tepis.
Memang betul, bahwa harga BBM yang dipatok pemerintah dalam APBN 2011 berdasarkan asumsi makro adalah US$ 80 per barel. Namun jika dilihat dari data, baik pemerintah maupun media publik, lonjakan harga minyak dunia terhadap harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah pada tahap yang krusial. Pasalnya, saat ini, rata-rata harga minyak mentah Indonesia hingga bulan Maret telah mencapai US$ 100,4 per barel.
Hipotesa kita adalah, apabila fluktuasi harga ICP telah melampaui patokan APBN 2011 (US$ 80 per barel), maka harga minyak tersebut telah berpengaruh signifikan terhadap defisit APBN kita. Hal ini karena setiap kenaikan minyak US$ 1 per barel, akan menggerus subsidi sebesar 800 miliar. Dengan asumsi bahwa apabila kita kekurangan minyak sebesar 24 barel per hari, maka pemerintah harus menyuntik lagi anggaran sebesar 19,2 triliun untuk menutupi kekurangan BBM. Sementara kuota subsidi kita dalam bantalan APBN sebesar Rp.95,9 triliun. Dan apabila kuota subsidi ini terus terkuras, atau melampaui ekspektasi penghematan pemerintah, maka lagi-lagi APBN kita akan mengalami defisit. Karena pemerintah perlu menambal lubang defisit tersebut dengan menambah bantalan APBN. Dan hal ini secara serta-merta akan memicu gonjangan ekonomi turunan di berbagai sektor yang berhubungan dengan BBM. Menurut pemerintah (Menteri Keuangan), apabila harga minyak terus meningkat, maka defisit anggaran sampai akhir 2011 bisa bertambah 10 triliun hingga Rp 17 triliun. Dan apabila harga minyak dunia terus meningkat, maka defisit APBN kita bisa bertambah parah lagi.
Secara alamiah, fluktuasi harga minyak dunia itu akan berpengaruh secara global. Mau tidak mau, Indonesia pun akan merasakan implikasi dari fluktuasi harga minyak tersebut. Solusi realistis yang ada di hadapan pemerintah saat ini adalah, menaikan harga BBM jenis premium sebesar Rp 5000 per liter, dan akan terjadi penghematan APBN hingga sekitar Rp 15 triliun. Demikian juga mengalihkan ke pertamax dengan mematok harga Rp.8000 perliter serta kebijakan melakukan sisitem kendali terpusat.  Namun dari ketiga opsi yang disarankan untuk pemerintah, akan tetap memiliki dampak inflasi 0,3%-0,5% hingga maksimum 0,6%.
Kenaikan harga minyak dunia juga akan menimbulkan dampa inflasi pada sektor lain. Semisal, industri petrokimia yang menggunakan bahan baku minyak bumi dipastikan menaikkan harga produknya, seperti plastik dan sederet nilon untuk tekstil. Harga minyak dunia yang meningkat juga akan ikut mendorong harga sejumlah komoditas pangan dalam negeri.
Kondisi ini menjadi ancaman lain bagi banyak negara pengimpor pangan termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil publikasi organisasi pangan dunia FAO, lonjakan harga minyak dunia berpengaruh terhadap indeks harga pangan dunia sebesar 231 dan pada bulan februari mencapai 236 (Kompas, 10 Maret 2011).
Sebagai negara yang memiliki hubungan mata rantai dengan siklus ekonomi dunia, Indonesia akan secara langsung merasakan multi efek dari lonjakan harga minyak dunia. Harga pangan akan terdorong naik ketika harga minyak terus menanjak. Karena sejumlah komoditas pertanian digunakan untuk subsitusi bahan bakar minyak. Selain itu, kebutuhan petani akan minyak untuk mesin pertanian dan untuk kebutuhan pengapalan komoditas yang juga membutuhkan bahan bakar minyak dalam kapasitas besar. Goncangan harga pangan tersebut akan turut memompa lonjakan inflasi pada komoponen bahan pangan tertentu yang tingkat ketergantungannya terhadap BBM cukup tinggi.

Pemerintah Sikapi Kenaikan Harga Minyak, Siap-siap Hadapi Inflasi

Dalam menyikapi kenaikan harga minyak dan potensi kenaikan subsidi ini Tim Pengkaji Akademis dampak kebijakan pembatasan BBM subsidi Anggito Abimanyu memberikan tiga opsi ke pemerintah untuk mengurangi konsumsi BBM subsidi jenis premium.


  1. Kenaikan harga premium Rp 500 per liter, kemudian angkutan umum diberikan semacam cash back atau kembalian, sehingga tarifnya tidak naik. Itu berarti kendaraan bermotor maupun mobil pribadi harus membayar biaya tambahan termasuk kendaraan umum. Namun untuk angkutan umum ada cash back
  2. Harga pertamax dijaga di level tertentu. Berdasarkan survei atas kemampuan daya beli masyarakat, paling feasible Rp 8.000 per liter. Perpindahan kendaraan pribadi dari premium ke pertamax dilakukan supaya terjadi pengurangan konsumsi sekitar 3 juta KL pindah ke pertamax.
  3. Melakukan penjatahan konsumsi premium dengan sistem kendali. Itu berlaku tidak hanya kendaraan umum tapi juga kendaraan pribadi.

    Hingga saat ini karena harga jual BBM dalam negeri belum diputuskan untuk naik, tingkat inflasi di masyarakat masih cukup moderat. Seperti yang dilaporkan oleh BPS, pada bulan Februari lalu inflasi turun sekitar 0.13 %, jauh lebih rendah dari ekspektasi para analis 0.3-0.,5%. Inflasi Februari 2011 di level 0.13% dibandingkan Januari 0.89% (month on month).

    Namun demikian patut diingat bahwa angka inflasi tahunan Year on Year yang mencapai 6.84% masih tergolong tinggi. Pasalnya angka inflasi tahunan itu masih di atas target inflasi APBN 2011 yang hanya sebesar 5.%, 

    Dengan mempertimbangkan potensi ancaman inflasi tersebut pemerintah diharapkan akan menemukan formula kebijakan yang paling tepat terkait dengan harga minyak mentah, inflasi, dan defisit APBN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar